home about

Selasa, 01 November 2011

resensi novel ayat2 cinta


Resensi Novel Ayat-Ayat Cinta

Judul Novel               : Ayat Ayat Cinta
Pengarang                  : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit                     : Republika dan Pesantren Basmala Indonesia, cetakan XI (Revisi)
Kota Tempat Terbit  : Jakarta
Tahun Terbit                         : 2006
Tebal                           : 419 Halaman
Harga                         : Rp 150.000,00

Menjadi seorang santri salaf metropolis dan musafir yang haus akan ilmu, apalagi di negeri para nabi menjadi sesuatu yang diimpi-impikan oleh setiap muslim yang taat kepada Tuhannya.Begitulah yang terjadi pada Fahri Abdullah. Ketika cinta mulai semerbak dan menghiasi kepribadiannya sebagai seorang mahasiswa yang menenggelamkan dirinya dalam lautan ilmu tiada bertepi serta hidayah Allah yang tiada terkira, ia seakan tak sadar dengan hadirnya tiga sosok gadis belia yang amat dan sangat konsisten terhadap syariat, budaya dan aturan serta kerelaan berkorban. Tiga sosok yang “memperebutkan” dirinya namun tetap dalam sentuhan dan cahaya Islam.
Halaman pertama dibuka dengan penceritaan suasana Mesir di musim panas dengan  suhu 41 derajat. Al Azhar University sebagai universitas tertua di dunia serta tempat – tempat yang biasa dilalui mahasiswa Al Azhar dalam kesehariaannya menjadi setting dalam karya fenomenal ini. Menurut pemerhati sastra Hadi Susanto dalam kata pengantarnya, novel ini bukan hanya novel islami tapi kehalusan penulis dalam menuliskan suasana alam Mesir serta kemampuannya menyisipkan pesan – pesan moral dalam ceritanya membuat novel ini mendapat julukan novel pembangun jiwa, novel politik, novel budaya, novel politik, novel etika, novel bahasa, dan novel dakwah (hlm.2).
Halaman pertama dibuka dengan suasana kota Cairo yang sangat panas. TENGAH HARI INI, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat – jilat bumi. Tanah dan pasir seakan menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung – gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik ( hlm. 15 ).
Dari sini masuklah tokoh utama bernama Fahri. Seorang santri salaf metropolis dan musafir yang haus akan ilmu. “Dengan tekad bulat aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar ash – Shiddiq yang terletak di Shubra El – Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi  - belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama – pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku belajar qiraah sab’ah – membaca Al Quran dengan riwayat tujuh imam – dan ushul tafsir – ilmu tafsir paling pokok –“
( hlm. 16 ).
Kemudian Maria atau Maryam masuk melalui keseharian Fahri. Seorang Kristen Koptik yang sangat taat dan cukup aneh bagi Fahri. Ia punya lesung pipi yang nampak ketika tersenyum. Dalam diri Maria tersimpan kekaguman terhadap Islam dan Al Quran sebagai kitab sucinya. Maria hafal Surah Al – Maidah dan Surah Maryam. “ Aku bangga namaku diabadikan dalam Al Quran “ kata Maria ( hlm. 24 ). Selain taat, Maria adalah gadis yang sangat toleran akan perbedaan terutama masalah aqidah. Pernah ketika tetangganya Noura – gadis belia yang juga mahasiswi Al Azhar – dizalimi oleh ayahnya Bahadur, Maria bersedia menampung Noura sementara di flatnya dan mengizinkannya untuk shalat. Selain itu ketika Maria lupa dan mengajak Fahri untuk ikut berdansa dengannya, Fahri menolak dengan kehalusan dan kearifan akhlaknya. Fahri menjelaskan tentang larangan Al Quran dan Hadits bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri atau mahram. Lalu simaklah sahutan Maria setelahnya “ Oh, begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tidak mungkin menawarkan hal ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau yakini ( hlm. 133 ).
Kemahiran Kang Abik – panggilan akrab sang pengarang – membenturkan budaya Indonesia dengan budaya Mesir melalui percekcokan tajam antara orang Mesir dengan orang Amerika bersama Fahri di dalam Metro. Ketika orang Mesir tersentuh hatinya dan sadar akan kesalahannya telah melanggar aturan Al Quran dan Hadits seperti dengan mencaci maki serta melaknat orang Amerika tersebut, mereka kan memperlakukan kita seumpama raja. Mereka terkadang keras tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa dan Indonesia pada umumnya. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja ( hlm. 51 ).
Selanjutnya kejadian di dalam Metro menjadi first meeting  antara Fahri dengan Aisha yang kelak menjadi istrinya. Aisha adalah sosok wanita bercadar  asal Turki dengan akhlak yang murni dan konsisten terhadap apa yang ia yakini sebagai gadis sholehah. Ia fasih berbahasa Inggris dan Jerman. Ia juga toleran terhadap perbedaan. “Mom, wait! Please, sit down here !” kata Aisha yang mempersilahkan Nenek Bule duduk di tempatnya ketika Nenek itu hamper saja jatuh menggelosor di lantai Metro karena sudah tidak tahan berdiri. “ Mein Name Ist Aisha “ sambil menyerahkan kartu nama dan menyodorkan buku notes kecil dan pulpen dengan maksud agar Fahri menuliskan nama dan alamat serta nomor HPnya di kertas tersebut. Sepertinya ada sesuatu dalam diri Fahri yang membuat Aisha terkesima setelah pembelaan Fahri terhadap orang – orang Amerika karena cacian orang Mesir di dalam Metro. “Danke, auf widersehen ! kata Aisha dengan harapan suatu saat akan bertemu dengan Fahri ( hlm. 56 ).
Di sisi lain Nurul Azkiya yang biasa dipanggil Nurul adalah gadis belia asal Indonesia yang sholehah dan rendah hati serta teguh dalam menjaga apa yang ia yakini. Ia adalah anak perempuan seorang Kiayi di Jawa. Ayahnya memiliki pondok pesantren yang membina ratusan santri dan santriwati dari seluruh penjuru nusantara. Posisinya sebagai ketua umum Wihdah – organisasi mahasiswi Indonesia paling bergengsi di Mesir- tidak membuat dirinya segan untuk menyempatkan waktunya mengajar anak – anak membaca Al Quran ( hlm. 104 ).
Sosok Fahri teramat sangat istimewa di mata ketiga gadis belia tersebut. Bukan harta yang membuat Fahri istimewa di mata mereka tetapi pribadi yang jujur dan sholeh, disiplin waktu, pelajar yang tekun, da’i yang taat, serta akhlak yang mulia semuanya menjadi daya tarik tersendiri bagi ketiga gadis tersebut.
Lalu dengan menarik, Kang Abik meramu cerita dengan bakat yang luar biasa. Dapat menjadi pelajaran bagi siapapun yang sedang dalam perencanaan menikahi seseorang. Fahri menerima lamaran dari Aisha melalui Syaikh Utsman yang terkenal sangat sholeh dan amanah. Dengan kemantapan hati Aisha dan Fahri siap menjalani lika-liku bahtera rumah tangga. Maka jadilah Fahri dan Aisha sepasang sejoli yang memadu kasih di malam zafaf – malam pertama -, malam terindah dan paling romantis dalam hidupnya, dengan sunnah dan ajaran Rasulullah SAW.
Bayangkanlah bagaimana hati seorang Nurul yang hancur disertai rintihan airmata di pipinya. Namun ayat – ayat cinta yang diutarakan Fahri dalam balasan surat untuk Nurul kembali menenangkan hatinya. Simaklah tanggapan Nurul dalam sebuah bulletin Terobosan Indonesia di Cairo “ Pernikahan Fahri (Indonesia) dengan Aisha (Turki berdarah Palestina) menunjukkan universalitas Islam. Aku tahu siapa Aisha. Sebelum dia menikah dengan Fahri dia pernah banyak bertanya padaku tentang budaya Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Selamat buat Fahri yang berhasil menyunting muslimah Turki yang sholehah dan jelita.”( hlm. 287 ).
Cerita berlanjut dengan penangkapan Fahri atas tuduhan pemerkosaan terhadap Noura – gadis yang pernah diselamatkannya bersama Maria dari amukan seorang ayah yang kejam -. Fahri terancam hukuman gantung. Seseorang yang sholeh tentu belum dianggap sholeh dan beriman di sisi Allah SWT sebelum ia diuji. Begitulah agama memaparkannya. Dalam penjara bawah tanah, Fahri mendapat siksaan yang luar biasa. Di Negeri Mesir ada banyak ulama – ulama yang mengalami nasib tragis di tangan para algojo penjara. Hal ini sempat membuat hatinya ciut. Dalam keyakinan yang ia jaga kuat dan telah mengakar dalam jiwanya bahwa Allah tidak akan membiarkan hambanya sia – sia dalam cobaan dan penderitaan yang bisa ia lalui dengan sabar dan tawakkal. Di tengah penderitaannya sebuah keputusan yang harus ia ambil dengan tegas demi kelangsungan hidup anaknya dan Maria yang sedang sekarat yang kelak akan menjadi saksi di persidangan. “Dengan menikahi Maria maka peluang untuk sembuh dan menjadi saksi di persidangan nanti akan semakin besar” begitu kata dokter yang merawat Maria. Kisah pengorbanan dari seorang istri yang Sholehah. Simaklah kata – kata Aisha sebagai berikut
“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas" ( hlm. 376 ). Sungguh Aisha adalah seorang istri idaman bagi setiap pemuda di dunia yang merelakan suaminya demi kesembuhan Maria - sebagai saksi mata dalam kejadian yang menimpanya - dan kelangsungan hidup anaknya – anak Fahri - yang sedang dalam kandungan.Berkat kesaksian Maria dalam persidangan dan saksi – saksi yang Maria tunjukkan maka Fahri divonis bebas oleh hakim.
Sangat menarik, secara tak sengaja ketika Fahri berdialog dengan Alicia – seorang wartawan bule yang meliput berita tentang anggapan orang barat terhadap Islam -. Fahri pernah menjawab beberapa pertanyaan dari Alicia tentang kedudukan perempuan dalam Islam. Dan ternyata hal itu dapat menuntunnya menemukan cahaya Tuhan sehingga ia sekarang menjadi seorang  muslimah. Sangat mudah bagi Tuhan untuk menghapus duka dan kesedihan hamba – hambaNya. “Aku merasa keagungan Tuhan di seluruh jiwa. Aku merasa Dia tiada pernah meninggalkan diriku dalam segala cuaca dan keadaan.”(hlm. 390)    
Akhir yang sangat menarik dan menyentuh relung jiwa yang terdalam. Pantaslah novel ini dijuluki sebagai novel pembangun jiwa. Keajaiban ayat – ayat cinta benar - benar hadir dalam jiwa Maria yang sedang “koma”. Maria terus melantunkan ayat – ayat cinta itu sambil menangis dalam alam bawah sadarnya meminta diajari kunci surga oleh Bunda Maryam.
Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu” kata Maria yang telah memeluk cahaya Islam sambil menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Sambil terisak Aisha melantunkan ayat, “ Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah irji’ii ilaa Rabbiki raadhiyatan mardhiyyah Fadkhulii fii ‘ibadii wadkhulii jannatii ” – Hai jiwa yang tenang kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam golonngan hamba – hambaKu. Masuklah ke dalam SurgaKu –( hlm. 402 ).
Novel ini memperlihatkan perkembangan antara satu bagian dengan bagian yang lain terlihat wajar dan masuk akal serta harmonis. Kang Abik cukup memberikan detail dalam setiap penceritaannya. Novel ini sangat sarat dengan hikmah. Yang membuat novel ini luar biasa adalah Kang Abik berhasil menjadikan tokoh Fahri hidup, bahkan kita seolah – olah menjadi Fahri dalam novel ini. Kita seperti melihat langsung Mesir itu dalam suasana panas 41 derajatnya. Kita seperti melihat mahattah atau stasiun – stasiun di sana. Gambaran rumah -rumah-nya. Budaya masyarakat-nya. Humor –humor yang di gunakan orang – orang Mesir. Dan banyak lagi yang lainnya.
Suasana yang dibangun juga diperkental dengan digunakannya bahasa Arab fusha (formal) maupun ‘amiyah (informal) hampir dalam setiap paragrafnya. Selingan bahasa Inggris dan Jerman seringkali hadir dalam dialog antara tokohnya. Dengan ini, catatan – catatan kaki yang diberikan sangat membantu pembaca. Ungkapan – ungkapan dalam bahasa Arab pasaran yang digunakan sana – sini berhasil membawa pembaca ke setting novel. Warna daerah terbangun dengan baik.
Menilik lebih jauh, mungkin ada baiknya jika Kang Abik mencantumkan sebuah peta Mesir atau peta khusus kota Cairo sehingga pembaca lebih bisa menyelami di manakah Nasr City, Cairo,Maydan Husein, dan kota – kota serta tempat - tempat lainnya yang disebutkan dalam novel.
Pada perwajahan novel terdapat kekeliruan dan kesalahan cetak pada halaman 42 dan 45 yakni pada kalimat “Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan” yang seharusnya “ucapkan” dan pada kalimat “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya” yang seharusnya “bukan”.
Kami sarankan kepada seluruh masyarakat dunia agar membaca novel fenomenal ini. Terutama bagi para pemuda – pemudi yang berencana untuk menikah. Dan petiklah hikmah nan indah dan kehalusan bahasa dari seorang Habiburrahman El Shirazy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar