KAMI PERGI
Dua sahabat yang paling aku cinta. Dua sahabatku yang akan selalu ada, dalam dunia nyata, dan dunia khayalku. Hingga usiaku menginjak 10tahun. Merekalah yang selalu ada, mengukir senyum, memberikan hiasan-hiasan untuk mimpi-mimpi indahku.
Tapi perpisahan 7tahun lalu membuat aku dan mereka berpisah. Perpisahan yang paling dramatis dalam hidupku.
Aldi dan dina memberikan kenangan yang paling indah. Dan akan selalu lekat dalam ingatanku hingga aku menghembuskan nafas yang terakhir kalinya.
“Nay, kami yakin, kamu akan kembali untuk menemui kami”. Dan aku berjanji akan menemui kalian. Itu janjiku 7tahun lalu diusia 10tahun.
Maafkan aku, sahabat-sahabat kecilku. Karena hingga saat ini, hingga aku berusia 17tahun, aku belum bisa memenuhi janjiku.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Untuk sahabat-sahabat kecilku yang selalu aku rindu.
Tahukah kalian… saat aku berada dilingkungan baru, berada disekolah baru. Dan berada di satu ruangan yang tak satupun manusia didalamnya yang aku kenal, aku merasa menjadi alienasi. Makhluk yang terasing, dan merindukan sosok-sosok kalian. Dan saat sepi, aku tersadar…
Bahwa kalian yang aku butuhkan.
Hingga saat ini, hingga aku lelah mencari dan kubuat kesimpulan,
Hanya kalian sahabat terbaik yang dikirim Tuhan untukku.
Kenapa kondisi fisikku harus lemah?. Andai aku selalu sehat dan ceria seperti mereka yang diluar sana, mungkin kita akan selalu bersama dan tidak ada perpisahan seprti 7tahun yang lalu.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Awalnya, kupikir itu hanyalah bunga tidur yang numpang lewat. Hanya manifestasi dari rasa rindu pada sahabat-sahabat kecilku. Tapi mimpi yang sama selalu datang selama 1tahun terakhir ini.
Apa yang terjadi?
Kenapa kalian melambaikan tangan seolah mengucap selamat tinggal?
Hmm,, Mungkin karena aku terlalu merindukan mereka. karena aku terlalu mengharapkan kehadiran mereka.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Begitu nyata yang aku rasa. Wajah-wajah kecil itu tersenyum padaku…
Baju putih indah yang mereka pakai, menambah kesan lembut diraut polos Aldi dan Dina. Tapi aku tidak mengerti. Dimana kami saat ini?
Hanya kabut yang ada disekeliling kami. Dan lagi-lagi, mereka melambaikan tangan padaku. Semakin lama semakin menghilang dan akhirnya aku terbangun dari mimpi ditengah malam.
Itu semua hanya mimpi. Dan tidak ada hal yang perlu diresahkan dari datangnya mimpi.
Tapi perasaanku semakin gelisah. Ada sesuatu yang membingungkan. Tapi apa?
Aku semakin pusing memikirkan hal rumit ini. Semuanya berputar-putar.
Kepalaku sakit, sakiiiit sekali…
Aku pegangi kepalaku, dan memijitnya keras. Tapi aku tetap merasa sakit.
Kuturunkan tanganku, dan aku terkejut dengan kehadiran sejumlah rambut rontok ditelapak tanganku. Aku menangis dan mengeluh.
Aku harus bisa menerima kenyataan. Ini jalan hidup yang dipilihkan Tuhan untukku… Dan aku kehilangan kesadaranku.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Aku buka mataku pelan, dan kutemukan diriku diruang putih. Apa ini bagian dari mimpi-mimpiku?
Mungkin tidak.. Jarum-jarum infus yang menusuk disetiap tanganku cukup nyata untuk meyakinkan aku, bahwa ini bukan maya. Ditambah dengan kehadiran suster shift yang bersikap siap disampingku.
“Naya”, ibu menyebut namaku. Beliau bersama ayah dan seorang dokter. Aku berusaha bangun, tapi suara ayah melarangku. “jangan bangun dulu nak”. Ucapan ayah begitu lembut dan penuh simpati.
Aku bisa menebak, apa yang ada dalam pikiran raut itu. Mereka sedih, mereka terpukul. Tapi mereka berusaha tegar didepanku.
Ayah, Ibu
Aku tau apa yang ayah dan ibu risaukan selama ini telah benar-benar terjadi.
Maaf ayah, ibu
Naya hanya bisa tersenyum dengan air mata.
Ibu menghampiriku dan mengusap air mataku. Dan satu kalimat yang selalu diucapkannnya, “Naya pasti sembuh”.
“Permisi” sebuah suara muncul di pintu… Adit???
Adit, teman sekolahku di SMA saat ini. Dan diikuti teman-teman lain dibelakangnya. Mereka menjengukku.
Adit, teman sekelas yang paling membuat aku terkesan. Dia baik, murah senyum, dan aku menyukainya. Tidak kusangka, dia juga menyukaiku. Tapi aku mengerti, berita buruk akan segera datang. Dan saat inilah berita buruk itu benar-benar terjadi.
Maaf Adit, aku berkata “tidak” saat itu.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Malam ini, sosok Aldi dan Dina muncul lagi. Mereka tersenyum. Aku terbangun.. Dan aku sendiri diruang ini.
Aku ingin bangun, ingin pergi dari tempat ini.. lama-lama, ruangan ini membuat aku takut.
Kulepas jarum-jarum yang lekat disetiap kulitku. Aku berdiri, melangkah keluar ruangan tanpa menghiraukan rasa sakit ini. Tidak jauh dari ruangan tadi, ada sebuah ruangan khusus konsultasi dokter. Dari celah kaca dipintunya, aku lihat ayah dan ibu tengah ngobrol bersama dokter itu. Suasana cukup sepi, dan suara ketiganya jelas kudengar dari luar ruangan.
“Leukimia Naya sudah stadium akhir”.
Kalimat itu yang paling jelas kudengar. Kalimat yang paling aku takutkan sejak tujuh tahun lalu, yang mengharuskan aku pindah ke kota ini.
Aku harus berpisah dengan Aldi dan Dina demi proses penanganan penyakit sial ini. Dengan satu alasan logis, karena peralatan medis yang disediakan di Rumah Sakit di kota ini jauh lebih menunjang daripada yang ada di desa, tempat tinggalku bersama dua sahabatku.
Sepertinya kehadiranku mulai disadari oleh ayah dan ibu. Mereka menghampiriku, dan ibu memelukku erat.
“Naya ngapain disini?” ibu bertanya dengan nada sedihnya.
“Bu, mungkin ini permintaan terakhir Naya,, Naya pengen ketemu Aldi dan Dina”
Mungkin ayah dan ibu kurang menyetujui permintaanku. Tapi, aku pastikan besok aku pasti berangkat.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Hari ini persiapan singkatku menuju tempat tinggal Aldi dan Dina. Bagiku, Sahabat adalah komponen penting dalam hidupku.
Perjalanan dengan pesawat pasti akan lebih cepat mempertemukan aku dengan sahabat-sahabatku. Dan selanjutnya, untuk menuju ke sebuah desa terpencil, perjalanan dengan mobil harus kutempuh selama 5jam.
Dan sekarang, moment yang aku tunggu-tunggu selama 7tahun terakhir. Aku akan segera menemui sahabat-sahabat kecilku.
Aku baru saja memasuki daerah desa ini. Desa yang selalu aku rindukan. Suasana yang tenang, asri, dan menyimpan banyak kenangan bagiku.
Disinilah tempatku lahir. Dan disini, pertama kalinya aku menghirup O2. Dan aku melihatnya…
Aku melihat rumah dua sahabat kecilku. Aldi dan Dina. Tentu dua sahabatku itu bertambah dewasa sekarang. Aku ingin melihat dua sosok yang menjelma remaja saat ini. Dua kakak beradik itu pasti terlihat lebih manis diusia remajanya.
Aku bisa menebak, Aldi pasti jauh lebih tinggi daripada aku, dan Dina, adik Aldi, senyumnya pasti manis sekali.
Dulu Aldi dan Dina sering bermain denganku. Semoga saat inipun, Aldi dan Dina masih mengingat raut wajahku.
Aku berdebar-debar. Entah senang, entah nervous. Perasaan yang muncul ini persis rasa yang aku alami dulu saat pertama melihat Adit. –First Boy- yang membuat aku salting didepannya.
Tapi disisi lain, aku seperti melihat sesuatu yang gelap dari rumah ini.
Hmm,,, Mungkin hanya perasaan negatifku karena sudah lama tidak mengunjungi rumah ini.
“Ayah sudah persiapkan kursi roda kalau Naya mau turun”
“Nggak usah yah, Naya pengen jalan sendiri” Ujarku semangat walau dalam keadaan pucat dan lemas.
Aku turun dari mobil. Dengan hati-hati, ibu memapahku supaya tidak jatuh.
Tuhan…. Sebegitu rapuhkah aku?
Aku ketuk pintu itu pelan-pelan. Tidak lama, pintu terbuka. Dan aku yakin untuk mengucapkan “Bibi Anita?!”
“Naya?!” ujarnya ragu. “ini Naya?”
Aku menganggguk pelan.
Tapi hingga saat ini, yang kulihat hanya bibi Anita, disusul paman Andi dibelakangnya. Dimana dua sahabat kecilku?. Emm, mungkin mereka sedang mengaji, seperti yang mereka lakukan 7tahun yang lalu, disetiap sore. Pasti mereka sedang disurau.
“Bi, Aldi dan Dina kemana?” Bibi Anita yang sedang membelai rambutku pelan, tiba-tiba terdiam. Senyumnya mulai berkurang. Semoga ini bukan berita buruk.
“Maafkan bibi, karena tidak pernah mengabari keluargamu, tentang apa yang terjadi di desa ini”.
Ya, aku tau, dan aku bisa memakluminya. Karena memang, sejak kami pindah ke kota, sejak 7tahun lalu, kami tidak berkomunikasi sama sekali. Lost contact. Bahkan walau lewat surat sekalipun.
Paman Andi mulai berbicara, karena bibi yang aku Tanya tiba-tiba menangis, dan memelukku erat.
“Setahun yang lalu, waktu Aldi dan Dina akan berangkat sekolah, angkot yang membawa mereka mengalami kecelakaan. Aldi dan Dina duduk di jok paling depan. Dan mereka tidak bisa diselamatkan”.
Ini bukan hanya berita buruk, tapi juga akhir dari sebuah penantian panjang seorang sahabat. Akhir dari harapan yang membuat aku bertahan hingga saat ini. Sekarang, semuanya sudah berakhir.
Tetesan air mata bibi, mengalir pelan dibahuku. Tangannya tetap membelaiku dalam peluknya. Perlahan-lahan, Beliau mulai melepas peluknya. Dan aku bisa melihat ekspresi terkejutnya saat melihat helai-helai rambutku yang berada di genggamnya.
Aku tau, pandangan bingungnya. Aku semakin sedih, melihat tatapan bibi yang memandangku lemah. Tapi yang membuatku pusing saat ini bukan masalah bibi. Tapi, dua sahabatku yang pergi. Kenapa mereka tidak membiarkan aku sendiri?, kenapa mereka tidak meninggalkan setetes kebeningan untuk menyejukkan sepiku?
Dua sahabat yang selalu menemaniku dari dulu hingga saat ini. Walau hanya dalam mimpi. Aku kesal, sedih, kecewa… Hingga rasa sakit itu datang lagi. Hingga aku kehilangan kesadaranku untuk yang kesekian kalinya.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Aldi, Dina, kalianh pergi kemana?. Apa kalian damai ditempat itu?. Aku sedih, aku terluka. Karena kalian pergi tanpa aku tau. Mengapa Tuhan tidak mengizinkan aku untuk menyapa kalian, walau hanya dalam lamunan dan mimpiku?. Aku piker, kalian pergi tanpa kata, dan itu hanya terjadi dalam mimpiku-mimpiku. Tapi sekarang aku tau, mimpi itu menjadi nyata.
._._._._._._._._._._. ^_^ ._._._._._._._._._._.
Sesuatu yang lembut menyentuh pipiku. Dan aku membuka mataku perlahan. Adit….
Dia ada disamping pembaringanku. Dia menghapus air mataku yang menetes saat aku tak tersadar. Mungkin ini bagian dari mimpiku!. Mustahil ada Adit disini, ditempat yang jauh dari kota tempatku tinggal. Tapi sepertinya ini nyata…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar